Posted by Lintas Informasi Madiun Berita Kota Dan Kabupaten on Senin, 28 Mei 2012
Profil Saljo Harsoutomo Pendekar dari Madiun, Saljo Harsoutomo yang lahir pada hari Sabtu, 17 Juli 1917 di Madiun. Mas Saljo, demikian para sahabatnya memanggil, dan untuk seterusnya beliau meminta untuk tetap dipanggil dengan sebutan “mas” – biar awet muda katanya. Pasangan Eyang Atmo kakung putri mempunyai dua anak lainnya setelah mas Saljo.
Kehidupan sebagai petani tidak membuat Eyang Atmo kakung putri pasrah dengan kehidupan yang bersahaja. Hal ini dibuktikan dengan menyekolahkan ketiga anaknya di Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School) bahkan Mas Saljo dapat meneruskan hingga pendidikan lanjutan Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di HIS, Mas Saljo meninggalkan kota Madiun tahun 1939 untuk menjadi pegawai Bumi Putera di Yogyakarta. Mas Saljo berhasil menjadi pegawai di Departemen Kolonisasi jaman pemerintahan kolonial Belanda . Pada waktu itu pemerintah kolonial membutuhkan tenaga muda untuk mengawal para penduduk korban letusan Gunung Merapi yang akan dipindahkan ke pulau Sumatera. Sejak saat itu Mas Saljo bertugas di daerah Jambi, Lahat, dan Lampung.
Tahun 1950 Mas Saljo kembali ke tanah Jawa dan memulai tugasnya di kota Kebumen Yogyakarta. Di kota ini pula Mas Saljo menikah dengan Ibu Titiek Soekarsilah dan dikaruniai 13 orang putra putri. Menjelang masa pensiun Mas Saljo masih berpindah tugas ke kota Solo, Pati, dan akhirnya kembali ke kota Yogyakarta.
Pada masa pensiun inilah Mas Saljo mulai mendidik anak-anak muda di sekitar kampung Mergangsan untuk belajar pencak silat. Sejak saat itu bendera Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) mulai dikibarkan di Yogyakarta.
Aliran bela diri pencak silat SH Terate berasal dari tanah kelahiran Mas Saljo, maka tidak heran jika nilai-nilai filsafat perguruan ini seperti Urip Iku Urup, Memayu Hayuning Bawono, Suto Diro Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti merupakan nilai yang beliau pegang dan diteruskan pada putra-putri dan murid-muridnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah murid PSHT semakin bertambah, rumah sederhana di Jl. Kintelan itu tidak pernah sepi. Setiap akhir minggu ramai berkumpul kaum tua-muda berdiskusi, berlatih, dan menciptakan “kembangan” jurus-jurus dasar perguruan Persaudaraan SH Terate (PSHT) hingga larut malam.
Perjuangan Mas Saljo tidak sia-sia, salah satu putrinya berhasil memenangkan medali perak pada PON VII di Surabaya tahun 1969. Usahanya telah membuahkan hasil, yaitu Persaudaraan SH Terate Cabang DIY yang dirintisnya resmi masuk dalam daftar IPSI pada tahun 1976 melalui SK 02/Sek/IPSI-DIY/4/73.
Namun prestasi itu harus ditebus dengan kesehatannya. Kebiasaan merokok dan begadang dalam jangka waktu panjang membuat paru-parunya luka. Pada April 1985, Mas Saljo menghadap Tuhan. Sepeninggalan Mas Saljo, para penerusnya tetap melatih bibit-bibit pendekar hingga mekar dan berkembang di Yogyakarta, banyak ranting-ranting PSHT yang didirikan di bumi Sultan Hamengkubowono ini.